Ramadan Bulan Solidaritas

Ramadan Bulan Solidaritas

Oleh: Prof. Dr. KH. Machasin, M.A. (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Dosen Magister Sejarah Peradaban Islam)

MERASAKAN kemalangan yang menimpa orang lain adalah satu bentuk solidaritas, yakni perasaan setia kawan atau satu rasa dengan sesama.

Setelah kisah pembunuhan seorang anak Nabi Adam as (Qābil atau Cain) atas saudaranya (Hābil atau Abel), Alquran (5:32) mengingatkan kepada Bani Israil bahwa orang yang membunuh satu jiwa manusia seperti membunuh seluruh manusia.

Sebaliknya, orang yang menghidupi satu jiwa seakan-akan menghidupi seluruh manusia.

Hal itu berarti bahwa umat manusia adalah satu, saling mendukung, agar dapat hidup sewajarnya sesuai martabat kemanusiaan

Ramadan disebut dengan bulan diturunkan Alquran walaupun kitab tersebut diturunkan bagian demi bagian dalam rentang waktu 22 tahunan, masa Nabi saw menyampaikan dakwah.

Terdapat dua penjelasan mengenai hal itu.

Pertama, Alquran diturunkan sekaligus dari LauḥMaḥfūẓke langit dunia dan dari situ diturunkan bagian demi bagian sesuai keadaan Nabi dan persoalan yang beliau hadapi.

Kedua, Alquran mulai diturunkan pada Ramadan.

Bisa ditambahkan penjelasan ketiga: pesan pokoknya diturunkan pada Ramadan, kemudian jabaran atau perinciannya diturunkan pada masa-masa berikutnya.

Pesan pokok itu berupa kepercayaan kepada Allah dan mengikuti jalan-Nya dalam menjalani kehidupan serta bahwa manusia adalah wakil-Nya di bumi dan mesti mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kaitan Ramadan dengan turunnya Alquran sangatlah erat dan karenanya wajar kalau pada Ramadan orang membaca kitab tidak hanya untuk ibadah, melainkan juga memahaminya dan mengambil petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya.

Kitab tersebut menekankan kesatuan umat manusia; setiap orang adalah saudara bagi orang lain dan semestinya masing-masing memupuk dan menjaga rasa kesatuan.

Karena keserakahan dalam mendapatkan materi, banyak orang lupa akan kesatuan umat manusia ini dan demi memperoleh materi bisa melakukan tindakan-tindakan yang menistakan orang lain atau bahkan melakukan tindakan yang mengakibatkan kesengsaraan orang lain, hatta membinasakannya.

Qabil membunuh Habil, misalnya, karena iri kurbannya tidak diterima, sementara kurban saudaranya diterima.

Keirian saja dapat mengakibatkan orang terdorong untuk membunuh, apalagi keuntungan-keuntungan materi dalam jumlah besar atau kedudukan yang memberikan kekuasaan sangat besar.

Peduli kepada orang malang

Ramadan mengingatkan kita akan adanya orang-orang malang di sekitar kita dan mengajak kita untuk merasakan penderitaan mereka.

“Tidak dapat disebut ‘orang beriman’, demikian Rasulullah saw bersabda, “orang yang kenyang sementara tetangga dekatnya kelaparan”.

Iman yang tidak disertai kepedulian kepada orang di sekitar bukanlah iman yang senyatanya.

Iman mestilah diwujudkan dalam perhatian kepada orang lain karena sehubungan dengan perasaan senasib.

Di dalam sebuah hadis Nabi saw diceritakan bahwa pada hari kiamat nanti Allah menegur seseorang.

“Hai anak Adam, Aku sakit, tapi kau tak datang menjenguk.”

Orang itu pun menjawab, “Bagaimana aku menjenguk Tuan, sedangkan Engkau Tuhan seru sekalian alam?”

“Tak tahukah kau,” jawab Allah, “bahwa hambaku si Polan dulu sakit, sedangkan kau tak menjenguknya? Tidakkah kau tahu, jika kau jenguk dia, niscaya kau temukan Aku di situ?”

Hadis tersebut selanjutnya berupa teguran serupa mengenai orang yang minta makan dan minta minum.

Memberikan makan dan/atau minum kepada orang yang memerlukan berarti pula mengabdi kepada Tuhan.

Itu berarti bahwa pengabdian kepada Allah tidak hanya berupa menjalankan ritual ibadah atau kewajiban-kewajiban keagamaan seperti salat dan puasa, melainkan juga perhatian dan bantuan kepada sesama.

Singkatnya, merasa senasib dan sepenanggungan dengan orang lain yang sedang berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan adalah bagian dari iman.

Pada Ramadan, setidaknya orang yang berpuasa mengurangi kenikmatan makan, minum, dan pelampiasan syahwat.

Hal itu, walaupun belum sebanding, dapat dikembangkan menjadi semangat solider dengan orang-orang yang kelaparan karena miskin, faqr, perang, penindasan oleh pemegang kekuasaan, ketakutan, dst.

Jadi, kita berpuasa bukan sekadar menjalankan kewajiban, namun juga menjadikannya jalan untuk menuju ketakwaan.

Caranya? Dengan, antara lain, bersolider dengan orang-orang yang sedang tertimpa kemalangan.

Allah akan terus siap memberikan pertolongan kepada seorang hamba selama sang hamba terus siap memberikan pertolongan kepada saudaranya, yakni sesama hamba Allah. (*)


Sumber: TribunJogja.com

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler