Prof. Maharsi Soroti Tantangan Komodifikasi Agama dalam Budaya Global
Prof. Maharsi Soroti Tantangan Komodifikasi Agama dalam Budaya Global
Yogyakarta — Globalisasi abad ke-21 tidak hanya mengubah wajah ekonomi dan budaya, tetapi juga membawa konsekuensi serius bagi cara agama dipahami dan dipraktikkan. Hal ini disampaikan Prof. Dr. Maharsi, S.S., M.Hum., yang merupakan dosen Magister Sejarah Peradaban Islam, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Islam dan Budaya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (17/12/2025), bertempat di Gedung Prof. Dr. H. Amin Abdullah (Multipurpose).
Dalam pidato berjudul “Islam dalam Budaya Global: Konvergensi Spiritualitas dan Komoditas”, Prof. Maharsi menegaskan bahwa kemajuan teknologi informasi, media massa, dan sistem pasar bebas telah melahirkan budaya global yang seragam, instan, dan konsumtif. Dalam konteks tersebut, agama—yang sejatinya bersifat sakral dan transendental—menghadapi tantangan baru berupa proses komodifikasi.
“Agama yang sebelumnya menjadi pedoman hidup dan sumber nilai moral kini semakin sering diperlakukan layaknya produk ekonomi: dikonsumsi, dijual, bahkan dipromosikan melalui mekanisme pasar,” ujarnya. Fenomena ini, menurut Prof. Maharsi, tidak terlepas dari budaya global yang menempatkan konsumsi dan citra diri sebagai pusat kehidupan modern.
Ia menyoroti peran besar teknologi digital dan media sosial dalam mempercepat proses tersebut. Platform seperti WhatsApp, Instagram, YouTube, dan TikTok, kata dia, telah menjadi ruang baru bagi lahirnya figur-figur publik berlabel religius yang menyampaikan pesan keagamaan dalam kemasan hiburan populer. Akibatnya, simbol, nilai, dan praktik keagamaan berpotensi direduksi menjadi komoditas yang memiliki nilai jual.
Namun demikian, Prof. Maharsi menegaskan bahwa Islam tidak dapat dipahami secara sempit hanya sebagai komoditas dalam budaya global. Ia menawarkan perspektif yang lebih berimbang dengan menempatkan Islam dalam perpaduan antara dimensi spiritualitas dan dinamika globalisasi. Keduanya, menurutnya, harus dipahami secara kritis agar saling melengkapi, bukan saling meniadakan.
“Islam tetap memiliki peran penting dalam budaya global bukan semata karena dikomodifikasi, tetapi karena ia merupakan sistem simbol dan kekuatan budaya yang membentuk identitas, solidaritas sosial, dan adaptasi masyarakat,” tegasnya. Dalam pandangannya, Islam mampu membangun makna, memberikan rasa aman, serta menjaga kohesi sosial dalam masyarakat yang majemuk dan terus berubah.
Lebih jauh, Prof. Maharsi menekankan bahwa di tengah arus globalisasi, Islam seharusnya terus berfungsi sebagai elemen pemersatu melalui nilai religiusitas, toleransi, dan solidaritas sosial. Agama, menurutnya, tetap relevan sebagai instrumen sosial-budaya yang adaptif terhadap modernitas tanpa harus terjebak sepenuhnya dalam logika pasar dan komodifikasi.
Pidato pengukuhan ini tidak hanya menandai capaian akademik Prof. Maharsi, tetapi juga menghadirkan refleksi kritis atas posisi Islam dalam lanskap budaya global kontemporer. Sebuah ajakan bagi akademisi dan masyarakat luas untuk memaknai agama secara lebih mendalam di tengah tantangan zaman.
Untuk membaca karya-karya lain dari Prof. Maharsi, Anda dapat mengunjungi laman profil Prof. Maharsi ini.